Senin, 03 Maret 2014

KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL

Kenyataan bahwa manusia itu hidup bersama di dalam masyarakat, hampir tidak ada manusia yang mampu untuk hidup sendiri tanpa pertolongan orang lain. manusia memiliki naluri untuk hidup bersama dengan orang lain (gregariousness). Kemampuan orang secara pribadi sangatlah terbatas, katakan saja pakaian yang kita gunakan adalah hasil kerja orang lain, makanan yang kita santap juga ada campur tangan orang lain walaupun tidak secara langsung. Intinya manusia hidup membutuhkan orang lain, karena manusia adalah makhluk sosial dan manusia hidup berkelompok. Marilah kita pelajari bersama bagaimana kelompok sosial itu terbentuk dan tidak semua kumpulan orang dapat disebut sebagai kelompok. tentu saja ada beberapa syarat agar kumpulan manusia itu dapat disebut kelompok, seperti definisi berikut mengatakan bahwa kelompok adalah sejumlah orang yang berinteraksi secara bersama-sama dan mereka memiliki kesadaran keanggotaan yang didasarkan pada kehendak perilaku yang disepakati.  Lebih lanjut bacalah materi di kumpulan bahan ajar .

Kamis, 07 Maret 2013

KELULUSAN SMA TP.2012/2013


KELULUSAN DARI SATUAN PENDIDIKAN

Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditentukan oleh satuan pendidikan berdasarkan rapat Dewan Guru dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:
a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran;
b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan;
c. lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
d. lulus Ujian Nasional

KELULUSAN UJIAN NASIONAL

1. Peserta didik dinyatakan lulus US/M SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan SMK apabila peserta didik telah memenuhi kriteria kelulusan yang ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan perolehan Nilai S/M.

2. Nilai S/M sebagaimana dimaksud pada nomor 1 diperoleh dari:
    gabungan antara nilai US/M dan nilai rata-rata rapor semester 3, 4, dan 5 untuk SMA/MA, dan SMALB dengan pembobotan 60% untuk nilai US/M dan 40% untuk nilai rata-rata rapor.

3. Kelulusan peserta didik dari UN ditentukan berdasarkan NA. 

4. NA sebagaimana dimaksud pada butir nomor 3 diperoleh dari gabungan Nilai S/M dari mata pelajaran yang diujikan secara nasional dengan Nilai UN, dengan pembobotan 40% untuk Nilai S/M dari mata pelajaran yang diujikan secara nasional dan 60% untuk Nilai UN.

5. Pembulatan nilai gabungan nilai S/M dan nilai rapor dinyatakan dalam bentuk dua desimal, apabila desimal ketiga ≥ 5 maka dibulatkan ke atas.

6. Pembulatan nilai akhir dinyatakan dalam bentuk satu desimal, apabila desimal kedua ≥ 5 maka dibulatkan ke atas.

7. Peserta didik dinyatakan lulus UN apabila nilai rata-rata dari semua NA sebagaimana dimaksud pada butir nomor 5 mencapai paling rendah 5,5 (lima koma lima) dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0 (empat koma nol). 

Kamis, 06 Oktober 2011

Jalan-jalan

OUT BOUND BACK TO NATURE @ PULAU UBIN

Catatan kecil perjalanan pak Ambros

Kehidupan modern mendorong seseorang untuk bekerja keras , bekerja dalam rutinitas, dengan ruang kerja terbatas di gedung-gedung bertingkat dengan fasilitas serba modern. Situasi dan pola kerja yang tetap (rutin) membuat orang cepat lelah dan jenuh sehingga akan berpengaruh terhadap kualitas dan produktifitas, oleh sebab itu diperlukan penyegaran kembali (refreshing). Di Indonesia di beberapa instansi baik negeri maupun swasta diterapkan hari kerja lima hari, mulai hari Senin sampai dengan Jumat dan hari Sabtu dan Minggu untuk acara keluarga atau refreshing baik yang dikoordinir oleh kantor tempat mereka bekerja, maupun oleh perorangan atau pribadi. Tujuannya sama yaitu agar hari kerja minggu depannya mereka dapat bekerja dengan fisik dan jiwa yang fresh.

Tulisan ini merupakan catatan kecil perjalanan dan kegiatan out bond di pulau Ubin Singapura. Out Bound ini bertujuan untuk menjalin dan meningkatkan keakraban diantara peserta melalui kegiatan-kegiatan yang telah diprogramkan baik kegiatan di dalam maupun di luar gedung. Kali ini penulis diberi kesempatan untuk mengikuti Out Bound di Pulau Ubin yang diselenggarakan oleh Universitas Pelita harapan Jakarta (UPH) bersama sama 38 kepala Sekolah dari Jakarta, Bogor, Bandung, Bekasi, Solo, Semarang, Denpasar , Makasar dan Pontianak dan 5 orang dari UPH. Terima kasih kepada Sr. Martina,HK Kepala Sekolah SMA Xaverius Bandar Lampung juga UPH atas kesempatan ini.

Perjalanan dan kegiatan.

Kita dijanjikan bertemu dengan rombongan jam 07.00 di bandara Sukarna Hatta dan bertolak ke Singapura dengan pesawat Garuda. Penerbangan ditempuh selama 85 menit.

Setibanya di bandara Changi rombongan langsung naik bus yang akan membawa kami menuju“Outward Bound Pulau Ubin”.


Alam yang indah dengan aneka ragam pepohonan, suasana sunyi, tenang sesekali terdengar pekikan burung elang dan kicauan burung Jalak adalah merupakan gambaran sebuah pulau kecil di Singapura yang diberi nama Pulau Ubin. Untuk menuju pulau ini ditempuh dengan perau motor dengan waktu tempuh kurang lebih 20 menit. Karena letaknya yang strategis dan alamnya yang indah , maka pulau Ubin dijadikan tempat out bound sekaligus mengisi waktu libur bagi warga Negara Singapura maupun orang-orang negara tetangga yang ingin berlibur di tempat ini.


Peta pulau Ubin

Gambar ketika kami sampai di pulau Ubin.

Kami melewati Pos Polisi keamanan setempat. Disini kami diperiksa, semua barang bawaan termasuk isi tas koper diperiksa, setelah itu baru kami diperbolehkan masuk.

Kegiatan

Permainan ini menggunakan media holahob. Lingkaran holahob ini disangga dengan telunjuk dan secara bersama sama diletakkan ke tanah diusahakan tidak jatuh. Terlihat mudah tetapi prakteknya sangat sulit. Artinya untuk mencapai tujuan harus mampu bekerja sama dan saling percaya, serta mengikuti komando

Hari pertama , beberapa saat setelah kami sampai, kami diterima di sebuah ruangan pertemuan. Acara pertama pembukaan dengan sambutan-sambutan dari ketua rombongan, dari manager/ pengelola dan dilanjutkan dengan perkenalan dari masing-masing peserta. Setelah diberikan arahan oleh para instruktur mengenai tata tertib selama ditempat tersebut serta paket out bound yang ditawarkan pihak pengelola dilanjutkan dengan permainan-permainan penyegaran. Walaupun usia kami rata-rata sudah diatas 40 tahun bahkan ada satu peserta yang sudah 67 tahun tetapi terasa kami seperti masih muda semua kegiatan diikuti dengan baik. Salah satu permainan adalah seperti gambar berikut :

Permainan yang satu ini adalah melatih kecepatan berpikir degan menyusun abjad dan mengurutkan angka yang telah diletakkan di dalam lingkaran. Ini saat instruktur memberikan penjelasan langkah –langkah yang harus dilakukan peserta. Peserta dibagi dalam tiga regu. Caranya hampir sama dengan lomba estafet. Hari kedua kegiatan di luar gedung lebih banyak berupa permainan tantangan untuk menguji “nyali” dan mental serta keberanian, kami tidak wajib mengikuti semua tetapi diberi toleransi untuk memilih . Ya, cukup melelahkan sekaligus menyenangkan.


B

Jumat, 23 September 2011

MODERNISASI

MAKNA MODERNISASI

Tulisan ini sekedar untuk meluruskan persepsi yang kurang pas mengeani makna modernisasi dalam masyarakat Indonesia.

Dahulu para wanita Jawa memakai kebaya dan rambut disanggul dan nampak anggun seperti “Kartini” yang diperankan oleh siswa putri dari taman kanak-kanak, SD, SMP hingga SMA dalam peringatan Hari kartini setiap tanggal 21 April. Disamping baju kebaya Jawa ditampilkan juga busana adat dari berbagai suku bangsa di Indonesia dan dalam acara peringatan tersebut diselenggarakan lomba memasak makanan tradisional. Sekarang kalau ada siswa putri yang rambutnya diekor kuda atau dikelabang dibilang ‘jadul’ oleh teman-temannya. Pada acara bebas di luar kampus/sekolah remaja putrid mengenakan busana ‘keke’ alisan busana mini dengan rambut yang dicat macam-macam. Para wanita dari mahasiswa, ibu rumah tangga, guru, pegawai bahkan nenek-nenek memakai celana panjang dan rambut dipotong pendek ala priya, mereka sudah merasa modern. Peralatan, busana, makanan, hobby dan kebiasaan atau pola hidup yang serba praktis mereka anggap sebagai bagian dari modernisasi.

Dari kisah nyata tersebut diatas, penulis ingin menggarisbawahi masalah modernisasi dalam konteks yang sebenarnya dan ini menjadi materi pelajaran sosiologi sma kelas XII IPS yang harus dipelajari.

Modernisasi merupakan perubahan masyarakat baik unsur sosial maupun kebudayaan dari hal yang tradisional menuju modern dalam segala aspeknya. Hal-hal yang bercorak tradisional yang ditengarai kurang cocok adalah pola kikir yang lebih cenderung irasional, monotun, fatalism, dan ikatan ikatan tradisional yang berupa adat-istiadat kadang-kadang memberi kesan ‘ribet’ melelahkan dan kurang praktis. Masyarakat mulai perpaling pada hal-hal yang praktis dan rasionalitis.

Bagi Negara yang sedang berkembang “modernisasi” merupakan cara yang dipilih untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena cara-cara tradisional ternyata kurang cocok maka perlu perubahan. Cara yang ditempuh biasanya mengikuti pola yang dilakukan oleh Negara maju (di barat) yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengadakan industrialisasi dan mengembangkan ekonomi. Para ahli memberikan beberapa unsur sebagai konsep persyarakan perubahan tersebut. Konsep yang ditawarkan antara lain : masyarakat harus bersikap demokratis, aktif dan berani mengeluarkan pendapat, terbuka dan siap menerima perubahan, menghargai harkat orang lain, percaya pada keberhasilan ilmu pengetahuan, terlibat perencanaan dalam arti penerapan system managemen dalam kehidupan sehari-hari, menghargai waktu serta orientasi nilai budaya ke masa depan. Konsep tersebut harus diimbangi dengan cara berfikir ilmiah, system administrasi Negara yang rapi, pengumpulan data yang teratur, dan sentralisasi wewenang dalam perencanaan sosial dan peran serta media massa dalam memberikan informasi.

Dalam proses modernisasi sering masyarakat meniru dan menerapkan unsur budaya Barat apa adanya tanpa seleksi. Proses meniru budaya barat demikian disebut westernisasi. Westernisasi tidak dapat dielakkan berkat kemajuan teknologi bidang komunikasi baik melalui media cetak, elektronik dan internet.

Harapan : Masyarakat Indonesia modern tetapi masih tetap memiliki jati diri sebagai bangsa yang berbudaya ketimuran yaitu menjunjung tinggi nilai moral dan etika.

Mudah-mudahan tulisan di atas membatu anda yang sedang belajar sosiologi di kelas XII IPS.

Buatlah essay dan kirimkan ke guru pendamping matpel sosiologi! Judul : Modernisasi bukan Westernisasi

Kamis, 22 September 2011

masalah keguruan

MENYUSUN RENCANA EVALUASI

S

atu diantara tugas Guru adalah melakukan evaluasi dan menganalisis hasil evaluasi. Walapun melakukan evaluasi sudah menjadi tugas rutin, namun sering hanya sekedar kewajiban. Agar evaluasi benar-benar bermakna maka perlu disegarkan kembali pemahaman tentang evaluasi. Apakah evaluasi itu ? Mengpa perlu evaluasi, apa tujuan dn fugsinya ?

Evaluasi (evaluation : bhs.Inggris) berarti penilaian, yaitu merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan suatu obyek dengan menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolok ukur untuk memperoleh kesimpulan(Chalib Toha, 1990 : 1) Jadi evaluasi bukan sekedar menilai suatu kegiatan secara spontan dan incidental, melainkan melainkan kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik dan terarah berdasarkan tujuan yang jelas.

Mengapa perlu evalasi ?

Alasan pertama bahwa evaluasi memiliki dua kepentingan yaitu apakah tujuan pendidikan sudah tercapai dan untuk emperbaiki serta mengarahkan pelaksanaan proses belajar mengajar.

Alasan kedua mengevaluasi kegiatan belajar mengajar merupakan ciri dari pendidik profesional. Pekerjaan pendidik profesional meliputi menusun rencada belajar mengajar, mengorganisasikan, menata pengendalian, membimbing dan membina terlaksananya proses KBM secara relevan, efisien dn efektif, menilai program dan hasil belajar dan mendiagnosis factor yang mempengaruhi keberhasilan proses belajar sehingga dapat disempurnakanproses belajar mengajar selanjutnya.

Alasan ketiga, ditinjau dari kegiatan kelembagaan adalah merupakan kegiatan manajemen, yang meliputi kegiatan planning, programming, organizing, actuating, controling dan evaluating.

Ditinjau dari tiga alas an tersebut maka evaluasi dalam pendidikan adalah sangat penting baik dari segi profesionalisme pendidik maupun manajemen pendidikan.

Apakat tujuan dan fungsi evaluasi ?

Dalam bidang pengajaran evaluasi bertujuan menetapkan kompenti isi pengajaran spesifik yang dimilki oleh peserta didik dan untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Dalahasil belajar untukmengetahi perbedaan kemampuan peserta didik dan untuk mengukur mereka baik secara individu maupun kelompok. Dengan hasil evaluasi guru dapat mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik dan selanjutnya dapat melakukan perbaikan terhadap cara belajar dan cara mengajar. Evaluasi dapat dipakai sebagai alat untuk mengadakan selekksi dan hasilnya dapat berfungsi sebagai bahan untuk bimbingan konseling. Dari segi administrasif hasil evaluasi berfungsi untuk mengisi buku rapor, menetukan indeks prestasi, pengisian STTB, dan tentang ketentuan kenaikan kelas.

Perencanaan evaluasi :

  1. Menentukan indikator
  2. Menyusun kisi-kisi soal.
  3. memilih tipe soal.
  4. Merencanakan taraf kesukaran
  5. Merencanakan banyak sedikitnya soal.
  6. Merencanakan jadwal penerbitan soal.

A. Menentukan indikator.

Guru (pendidik) dalam menentukan tujuan evaluasi berpedoman pada Standar kompetensi(SK), Kompetensi dasar(KD) dan indicator. Tujuan evaluasi didasarkan pada pendekatan luas pengetahuan dan proses mental. Pendekatan luas pengetahuan artinya untuk mengetahui sejauh mana kompetensi dinidik terhadap penguasaan baham atau materi kurikulum, dan proses mental artinya tujuan evaluasi dengan jalan merinci secara spikis terhadap perubahan mental setelah dinidik menerima dan menglami bahan pelajaran yang telah diterapkan.

Dasar teori untuk menentukan tujuan belajar pada kurikulum yang berlaku saat ini(KTSP) adalah Taksonomi Hasil Belajar Bloom’s. Taksonomi ini dikenal secara populer dengan Taksonomi Bloom’m, sesuai dengan nama pencetusnya yaitu Benyamin S.Bloom. Dia membagi tiga aspek belajar yaitu : Cognitive domain, Affective domain dan Psicho-motor domain. Masing-masing domain disajikan dalam table berikut ini :

Cognitive domain

Tingkat/hasil belajar

Ciri-cirinya

1. Knoweldge

- jenjang belajar rendah

- kemampuan mengenal fakta-fakta

- kemampuan menghafal rumus definisi, prinsip

prosedur

- dapat mendiskripsikan

2. Comprehension

- mampu menejemahkan

- mampu menafsirkan, mendiskripsikan secara verbal

- mampu membuat estimasi

3. Application

- kemampuan menerapkan pelajaran dalam situasi baru

- kemampuan menerapkan prinsip/generalisasi pada

situasi baru

- dapat menyusun problema-problema sehingga dapat

menetapkan generalisasi

- dapat mengenali hal-hal yang menyimpang dari

prinsip dan generalisasi

- dapat mengenali fenomena bari dari prinsip dan

generalisasi.

- dapat meramalkan yang akan terjadi berdasarkan

prinsip dan generalisasi

- dapat melkukan tindakan tertentu berdasarkan prinsip

- dapat menjelaska alasa penggunaan prinsip dan

generalisasi.

4. Analysis

- dapat memisah-misahkan suatu integritas menjadi

unsur-unsur, menghubungkan antarunsur dan

mengorganisasikan prinsip-prinsip.

- dapat mengklasifikasikan prinsip-prinsi.

- dapat meramalkan sifat khusus tertentu

- mengetengahkan pola tata hubungan dan sebab

akibat

- mengenal pola dan prinsip-prinsip organisasi

materiyang dihadapi.

- Meramalkan dasar sudut pandang atau kerangka

materi.

5. Synthesis

- menyusun unsur atau bagian-bagian menjadi

keseluruhan

- menemukan hubungan yang unik

- dapat merencanakan langkah yang konkrit

- dapat mengabstraksikan suatu gejala, hipotesis, hasil

penelitian dan sebagainya.

6. Evaluative

- dapat menggunakan kriteria internal dan kriteria

eksternal.

- evaluasi tentang ketetapan suatu karya/ dokumen

(kriteria internal).

- menentuka nilai/ sudut pandang yang dipakaidalam

mengambil keutusan.

- evaluasi tentang keajegan dalam memberikan

argumentasi

- membandingkan karya yang relevan ( kriteria

eksternal).

- mengevaluasi karya dengan kriteria eksternal.

- membandingkan seumlah karya dengan sejumlah

kriteria eksternal.

. Sumber : Benyamin S Bloom(1979) dalam karya Chaleb Thoha, M; Drs; M.A.)

Affective Domain

Tigkat/ hasil belajar

Ciri-cirinya

1. Receiving

- aktif menerima dan sensitive(tanggap) dalam

menghadapi gejala-gejala.

- Siswa sadar tetapi sikapnya pasif terhadap stimulus.

- siswa sedia menerima, pasif terhadap fenomena

tetapi sikapnya mulai aktif.

- siswa mulai selektif arting sudah mulai melihat dan

memiih.

2. Responding

- bersedia menerima, menanggapi dan aktif

menyeleksi reaksi.

- compliance(manut), mengikuti sugesti dan patuh.

- sedia menanggapi atau merespon

- puas dala menanggapi

3. Valuing

- sudah mulai menyusun/ memberikan persepsitentang

obyek/fenomena.

- menerima nilai

- memilih nilai/ seleksi nilai

- memiliki sikap batin( memiliki keyakinan terhadap

nilai)

4. Organization

- pemilikan sistem nilai

- aktif mengkonsepsikan nilai di dalam dirinya

- mengorganisasikan sistem nilai(menjaga agar nilai

menjadi aktif da stabil)

5. Characterization by

a value or value

complex

- menyusun berbagai macam nilai menjadi nilai yang

mapan dalan dirinya

- predisposisi nilai(terapan dan pemilikan system nilai)

- karakteristik pribadi atau internalisasi nilai(nilai

sudah menjadi bagian yg melekat pada pribadinya).

Psycho-motor domain

Tingkat/hasil belajar

Cirinya

1. Perseption

- mengenal obyek melalui pengamatan inderawi

- mengolah hasil pengamatan (dalam pikiran)

- melakukan seleksi terhadap obyek(pusat perhatian)

2. Set

- mental set, atau kesiapan mental untuk beraksi

- physical set, kesiapan fisi untuk beraksi.

- emotional set, kesiapan perasaan utuk beraksi.

3. Guided Response

- melakukan imitasi(peniruan)

- melakukan trial and eror

- pengembangan espon baru

4. Mechanism

- mulai tumbuh performance skill dalam berbagai

bentuk

- respon-respon baru muncul dengan sendirinya

5. Complex over

Response

- sangat terampil, yang digerakkan oleh aktivitas

motoriknya.

6. Adaptation

- pengembangan ketrampilan individu untuk gerakan

yang dimodifikasi

- pada tingkat yang tepat untuk menghadapi problem

Solving

7. Origination

- mampu mengembangkankreativitas gerakan-gerakan

baru untuk menghadapi bermacam-macam situasi,

atau problem-problem yang spesifik.

B. Membuat kisi-kisi soal.

Tujuan menyusun kisi-kisi soal adalah merumuskan setepat mungkin ruang lingup, tekanan dan bagian-bagian tes sehingga perumusan tersebut dapat menjadi petunjuk yang efektif bagi si penyusun soal. Format kisi-kisi memuat Standar kompetensi, Kompetensi dasar dan Indikator. Yang perlu diperhatikan dalam menyusun kisi-kisi soal adalah tingkat kesukaran (mudah, sedang dan sukar), validitas isi, dan indikator yang diformulasikan dari taksonomi Blom’s yakni :

  1. kemampuan ingatan 15 %
  2. pemahaman 15 %
  3. kemampuan aplikasi 20 %
  4. kemampuan sintesis 20 %
  5. kemampuan analisis 20 %
  6. kemampuan evaluatif 20 %

C. Memilih tipe soal

Beberapa pertimbangan yang dipakai untuk menentukan tipe soal yaitu :

  1. kesesuaian tipe soal dengan materi
  2. kesesuaian tipe soal dengan tujuan evaluasi
  3. kesesuaian tipe soal dengan skoring
  4. kesesuaian tipe soal dengan pengolahan hasil
  5. kesesuaian tipe soal dengan administrasi tes
  6. kesesuaian tipe soal dengan dana dan kepraktisan.

Tipe soal yang dimaksud adalah pilihan ganda, esai, menjodohkan, benar-salah (pelaksanaannya dapat berupa tes perbuatan , tes lisan tau tes tetlis.)

D. Menentukan Tingkat kesukaran Soal

Pada ummnya menentukan tingkat kesukaran soal setelah melalui uji coba. Hasil dari uji coba dapat dipakai sebagai prediksi soal tersebut sulit, sedang atau mudah. Untuk jenis soal uraian kriteria tgkat kesukaran sudah dapat diperkirakan tanpa diujicobakan.Sebaran tingkat kesukaran soal sebaiknya memiliki sebaran yang merata .jika guru menggunakan acuan patokan, maka tingkat kesukaran hendaknya dibuat dalam radius disekitas daerah rata-rata tetapi jika menggunakan acuan kelompok penyebaran tingkat kesukaran dapat diperlonggar.

Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan mengisyaratkan penggunaan acuan patokan yakni nilai berjenjang antara 0 – 100. Dan metode belajar yang digunakan adalah martery learning atau metode belajar tuntas yang menekankan penguasaan materi dari kemampuan kreatif peserta didik. Patokan yang dipakai sebagai pembanding keberhasilan belajar, yakni berapa persen dinidik dapat menguasai materi pelajaran. Idialnya 100 persen, tetapi secara nasional minimal 75 persen dan standar ketuntasan belajar minimal (SKBM) sekolah sangat bervarisi berdasarkan analisis intake input, daya dukung, kompleksitas dan esensial materi yang dipelajari.

D. Menentukan banyak sedikitnya soal.

Untuk menentukan jumlah soal harus disesuaikan dengan luasnya materi yang tertuang dalam indikator, tujuan dan waktu yang tersedia. Isalnya untuk soal obyektif dengan 5 pilihan cukup dengan waktu 10-15 detik per item soal sedangkan asosiasi pilihan ganda butuh akktu 30-60 detik. Jika tes matematika dapat memakan waktu 3-5 menit per butir soal.

E. Merencanakan jadwal penerbitan soal

Dalam merencanakan tes perlu diperhatikan kapan soal harus selesai ditulis dan waktu penggandaan soal apalagi jika sekolah belum memilk tenaga profesinal untuk hal ini.

Program Evaluasi dalam penerapan KTSP

Bagian-bagian yang harus ada dalamprogram evaluasi :

  1. Standar Kompetensi
  2. Kompetensi dasar
  3. Indikator
  4. Jenis tagihan
  5. Alokasi waktu
  6. Jumlah soal

Contoh Format Program Penilaian

SK : ...................

No

KD (nomor)

Indikator

Jenis tagihan

Alokasi waktu

Jml. soal

Contoh Soal

Sie kurikuum SMAX Bandarlampung

NILAI DAN NORMA

Untuk adik-adik kelas X1 dan X2
sekarang kalian akan belajar PKn tentang
Nila, Norma dan Hukum


Nilai dan norma
Ketika baru di rumah mama bertanya " Ani, mendapat berapa nilai ulanganmu?" Ani menjawab:" Ma aku mendapat nilai 80" Bagus ! timpal mama, tingkatkan belajarmu biar kalu ulangan lagi mendapat nilai 90.
Dari percakapan tersebut, nilai berarti ponten atau angka kepandaian. Dalam pengertian yang luas NILAI bukan sekedar angka ponten. Theodorson, dalam buku Sosiologi yang ditulis oleh Nurseno dideskripsikan bahwa nilai adalah suatu yang abstrak yang dijadikan pedoman serta prinsip umum dalam bertindak atau bertingkah laku. Koentjaraningrat menyebutnya dengan pengertian bahwa nilai terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian warga masyarakat mengenai hal-hal yang dianggap amat mulia, sejalan dengan pendapat Woods bahwa nilai adalah petunjuk umum yang telah berlangsung lama serta mengarahkan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
Betapa pentingnya nilai dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, karena nilai dapat dipakai sebagai ukuran dalam menetapkan harga sosial dari pribadi dan kelompok.Nilai juga mengarahkan cara berpikir dan bertingkahlaku, pengaw serta sebagai alat solidaritas.
Menurut sudut pandng yang berbeda, ada yang disebut nilai kebenaran yang bersumber pada akal manusia, nilai keindahan bersumber pada unsur perasaan, nilai moral bersumber pada kehendak dan hati nurani, nilai religius berhubugan dengan keyakinan /kepercayaan, ada pula nilai yang berhubungan dengan kebendaan, kesehatan dan undang-udang atau peraturan negara.
bagi manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat atau warga negara nilai menjadi target yang harus dicapai, mengingat sekarang ini ada indikasi kemerosotan nilai moral di kalangan remaja, kemerosotan nilai kejujuran dan kedisiplinan.
Nilai dan norma dalam kehidupan sehari-hari selalu berdampingan dan berkaitan. Ibarat nilai adalah tujuan yang harus dicapai dan norma adalah alat untuk mencapai tujuan tersebut. Norma berupa peraturan-peraturan yang disertai sanksi. Sanksi sebagi penguat agar norma tersebut tidak dilanggar. Menurut kekuatan mengikatnya, norma dibedakan dari yang paling lemah sanksinya sampai yang paling kuat sanksinya, yaitu : cara atau usage, kebiasaan atau folkways, tata kelakuan atau mores dan adat istiadat atau custom. Ada bermacam-macam norma dalam masyarakat, yaitu norma agama, norma kesopanan, norma kelaziman, norma kesusilaan dan norma hukum.

pelajari dulu tentang nilai dan norma, sebelum mempelajari tentang hukum di Indonesia.


Senin, 30 Agustus 2010

ssn

SEKOLAH STANDAR NASIONAL (SSN)

HARAPAN BARU PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS

Oleh : Sarjana Ambrosius

Berbicara mengenai kualitas pendidikan,

harus berorientasi pada suatu ukuran standar

yang ditetapkan secara rasional dan berlaku umum.

Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia di bawah cengkeraman kolonial menyebabkan keterbelakangan. Bangsa ini tertinggal jauh dari bangsa-bangsa lain dalam segala bidang kehidupan termasuk pendidikan. Konstitusi sebenarnya telah menggariskan pentingnya pendidikan baik yang tercantum dalam pembukaan maupun dalam batang tubuh UUD 1945. Untuk memenuhi amanat yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4 ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ dan bab VIII pasal 31 ayat 3 Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.Undang Undang Dasar juga menegaskan bahwa, Negara harus mengalokasikan 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk anggaran pendidikan nasional.(Amandemen UUD 1945 Agustus 2002 : 42).

Sejarah mencatat bahwa dari awal merdeka hingga berakhirnya masa Orde Lama (1965) permasalahan pendidikan di Indonesia terbesar menyangkut kuantitas, kualitas dan relevansi. Masalah kuantitas yakni bagaimana memeratakan pendidikan , untuk itu Pemerintah mengupayakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar sembilan tahun. Dengan demikian maka semboyan “pendidikan untuk semua” dapat terwujud. Masalah kualitas meliputi mutu pelayanan, mutu outcome yang dapat diukur berdasarkan standar kelayakan, serta muatan kurikulum pendidikan yang ada relevansinya dengan tuntutan masyarakat sehingga produk pendidikan tersebut memiliki daya saing internasional. Semuanya itu tidak terlepas dari manajemen pengelolaan yang minimal meliputi Planning, Organizing, Actuiting dan Controlling, terutama jika bicara budaya mutu menurut Depdiknas (dalam Juhri.2007:35)memiliki beberapa elemen yaitu : informasi kualitas harus dipakai untuk perbaikan bukan untuk mengadili orang, kewenangan harus sebatas tanggung jawab, hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishments), kolaborasi dan sinegi bukan kompetisi merupakan basis untuk kerja sama, warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya, atmosfer keadilan harus ditanamkan imbalan jasa harus sepadan dengan pekerjaan serta warga sekolah harus merasa memiliki sekolah.

Departemen Pendidikan Nasional melalu Menteri Pendidikan bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan di Indonesia, oleh sebab itu perubahan kearah perbaikan telah dilakukan, misalnya dengan perubahan kurikulum. Kurikulum didefinisikan sebagai program pendidikan yang berisi bahan ajar dan pengalaman belajar yang direncanakan, dirancang secara sistematis atas dasar norma yang berlaku dan dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran. Kurikulum berubah-ubah karena disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi. Kurikulum sekolah output-nya harus dapat link and match dengan kebutuhan masyarakat dan dunia usaha. Sudah beberapa kali kurikulum pendidikan berubah, seperti dikenal dengan nama Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, kurikulum 2004 yang dikenal dengan istilah KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan disempurnakan lagi dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP). Secara teoritis dengan KTSP yang berbasis kompetensi, satu sisi kemampuan siswa akan berkembang optimal, Guru lebih percaya diri karena mengembangkan kurikulum sendiri dan tidak dikejar oleh materi. Mereka dapat merencanakan sendiri materi ajar sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai. Pemerintah hanya memberikan rambu-rambu saja. Sistem belajar yang dikembangkan adalah sistem belajar tuntas atau Mastery Learning. Organisasi pun dimulai dari yang paling dekat dengan anak makin lama makin luas. Teori ini sebenarnya pernah dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara dikenal dengan “Tri Con”, yaitu Consentris, Continue, dan Convergensi. Consentris artin berpusat pada pengalaman anak di mana ia hidup dengan lingkungan dan kebudayaannya, Continue arting pengalaman anak berkembang terus menerus dan guru sebagai fasilitator, Convergensi artinya perpaduan dari berbagai arah, siswa membangun sendiri pengetahuannya dari berbagai sumber, untuk mengembangkan potensi diri. Sisi lain Guru kerepotan.

Ide atau gagasan sebagai unsur perubahan telah dicetuskan, namun pertanyaannya : Apakah dapat diimplementasikan ? Apakah hanya sebagai utopi ? (ide yang muluk, namun tidak akan pernah menjadi kenyataan bagaikan mimpi) Ataukah perubahan-perubahan ini justru merupakan gerak langkah inovasi ? Yang terjadi di masyarakat, setiap kali ada perubahan orang berpikir negative, pesimis dan cenderung konservatif. Terlepas dari apa “tanggapan masyarakat” dalam mengomentari pendidikan di Indonesia, baik yang hanya sekedar kecewa sampai yang mengecam bahwa out put pendidikan di negeri ini belum sesuai harapan. Secara umum tertinggal dengan negara-negara berkembang lain terutama dalam hal mutu. Ini terbukti dengan banyaknya tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri umumnya memasuki sektor informal, dan beberapa tenaga kerja wanita bermasalah karena pengetahuannya tentang budaya dan hukum rendah. Masalah mutu, relevansi dan pemerataan pendidikan memang menjadi prioritas mulai sejak dicanangkannya Rencana Pebangunan Lima Tahun (Repelita) pertama sampai sekarang belum teratasi walaupun perubahan demi perubahan sudah dicoba dilakukan misalnya dengan perubahan kurikulum dan pengorganisasiannya serta system pembelajaran. Adopsi cara-cara belajar dari Negara-negara maju juga sudah dilakukan. Guru sebagai ujung tombak di lapangan merasa bingung dengan kurikulum yang berubah-ubah. Tak heran lagi jika Ujian Nasional pun ditanggapi dengan beragam, sebagian masyarakat pro sebagian yang lain lagi kontra. Pertanyaan “ Apa” yang harus dilakukan ? “berubah” kata Renal Kazali, “ Bagaimana ” caranya ? (1)Pelajari situasi , cari “insight” sedalam mungkin (2) Fokus, buatlah pilihan-pilihan strategis (3) Satukan strategi ke dalam sistem organisasi (4) Eksekusi, yaitu lakukan perubahan secara bertahap.

Untuk meningkatkan dan menjamin mutu pendidikan perlu standarisasi pendidikan. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 11 ay.2 dikatakan bahwa beban belajar untuk SMA/MA/SMLB, SMK/ SAK atau bentuk lain yang sederajad pada jalur pendidikan formal kategori standar dapat dinyatakan dalam satuan kredit semester (SKS) dan bagian keempat berisikan tentang kurikulum pendidikan yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang disusn sendiri oleh sekolah ( pasal 16 ). Pada pasal 94. huruf b tertulis “ Satuan Pendidikan wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lambat 7 (tujuh ) tahun “. Dari beberapa kutipan ayat PP.No.19 Tahun 2005 tersebut lembaga penyelenggara pendidikan harus berpikir, cepat atau lambat akan melakukan perubahan menjadikan “SEKOLAH STANDAR NASIONAL”.yang segala sesuatunya standar menurut Pemerintah. Seperti sekarang sekolah telah menerapkan KTSP dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar isi, standar proses, standar sarana prasarana, standar tenaga pendidik dan kependidikan, standar kelulusan, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian. Dari delapan standar tersebut kelak harus dilaksanakan secara simultan, namun saat ini masih bertahap dan implementasinya masih jauh dari harapan. Kedepan sekolah yang menyandang kategori mandiri (SKM) harus terwujud, bahkan Pemerintah telah mencanangkan tahun 2012 semua sekolah harus sudah standar seperti telah penulis paparkan di atas yakni berdasarkan PP.No.19 tahun 2005. Beberapa pertanyaan untuk mengkritisi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, yakni :

Seperti apa gambaran Sekolah Standar Nasional ? Apakah ini sebagai solusi meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia ? lalu Apa yang perlu dipersiapkan jika harus mencapai standar ? Bagaimana dengan sekolah swasta yang mandiri ?

Gambaran Sekolah Sandar Nasional.

Kita perlu berbangga seperti apa yang telah dilakukan pemerintah maupun masyarakat pada era tahun tujuh puluh-an. Secara kuantitas sekolah berkembang pesat terutama dengan adanya program Inpres untuk sekolah-sekolah negeri disamping menjamurnya sekolah yang dikelola oleh swasta. Pada saat itu belum ada standar mutu yang baku karena diprioritaskan untuk mengatasi buta aksara dan buta bahasa Indonesia serta buta pengetahuan. Beriringan dengan usaha mengentaskan tiga ‘buta’ tersebut secara bertahap meningkatkan kualitas dengan keluarnya PP.Rebublik Indonesia nomor 19 tahun 2005 yang berfungsi sebagai dasar perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, serta bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat (pasal 3 dan pasal 4).

Sebagai gambaran saat ini ada beberapa konsep tentang status sekolah yakni Sekolah Standar, Sekolah Kategori Mandiri atau Sekolah Standar Nasional dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Melalui lembaga resmi yang disebut Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) ditetapkan acuan standar pendidikan tersebut . Ada delapan standar pendidikan untuk Sekolah Kategori Mandiri yaitu : standar isi dan standar kompetensi, Standar proses, Standar pendidik dan tenaga kependidikan, Standar sarana dan prasarana, Standar pengelolaan, Standar pembiayaan, Standar penilaian pendidikan, Kesiapan sekolah dan dukungan eksternal.(Dit.Pembina SMA,Ditjen. Manajemen Dikdasmen, 2007 ).

Standar Isi

Kurikulum disusun oleh satuan pendidikan yang mengacu pada Standar Isi yang berisi standar kompetensi dan kompetensi dasar. Isi kurikulum pokok secara nasional sama namun pengembangannya diserahkan pada masing-masing satuan pendidikan dengan mempertimbangkan potensi daerah, maka disemuang jenjang ditambah program muatan lokal. Sistem belajar siswa berorientasi pada pengembangan potensi siswa secara individu dengan mastery learning atau belajar tuntas. Guru tidak lagi terpaku pada materi ajar yang ada pada buku pelajaran. Prinsip belajar yang hakiki adalah membangun pengetahuan dengan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, maka sebenarnya tidak permu memasalahkan buku yang tidak cocok dengan KTSP seperti diberitan TVRI pada Berita Nasional tanggal 19 februari 2008 yang menyebtkan bahwa guru-guru di Kalimantan mengeluh karena buku paket tidak cocok lagi dengan kurikulumnya. Dengan kurikulum ini cara belajar dan sumber belajar sangat bervariasi, seperti yang dikatakan Winarno, Dr. (Educare No. 9/IV/Desember 2007 : 42) tentang e–Learning, belajar jarak jauh sangat dimungkinkan untuk sekolah masa depan. Siswa selain belajar melalui tatap muka juga belajar mandiri.

. Yang baru dalam Sekolah Standar Nasional ini adalah bahwa beban belajar tidak lagi dengan system paket tetapi dengan sistem kredit, artinya Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dikemas dalam Satuan Kredit Semester(sks), yaitu 120 sks. Jumlah 120 sks diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :

- Kebulatan studi yang ditempuh di SMA selama enam semester, sehingga beban studi per semester 20 sks, arting 20 jam tatap muka, 20 jam terstruktu dan 20 jam tugas mandiri.

- Kegiatan tatap muka dan terstruktur dilakukan di sekolah sehingga kegiatan terjadwal 40 jam per minggu.

Dengan system sks ini tidak menerapkan kenaikan kelas, dimungkinkan peserta didik yang cepat dapat menyelesaikan pendidikan di SMA kurang dari 3 tahun sedangkan peserta didik yang lambat dapat menyelesaikan pendidikan di SMA lebih dari 3 tahun. Jumlah sks yang boleh diambil pada semester II dan seterusnya didasarkan pada index prestasi (ip), misalnya pencapaian ip 2,0 hanya boleh mengambil maksimal 16 sks tetapi yang indeks prestasinya (IP) 3,25 dapat mengambil 22 sks.

Pembagian tugas mengajar guru disesuaikan dengan bidang keahlian guru dengan jumlah jam tugas minimal. Beban tugas mengajar guru yakni 24 sks per minggu, artinya guru cukup mengajar tatap muka 8 jam, 8jam tugas terstruktur dan 8 jam tugas mandiri. Guru tetap wajib bekerja 24 jam 16 jam di kelas dan 8 jam untuk evaluasi dan pendampingan atau bimbingan akademik bagi 16 siswa bimbingannya. Peran wali kelas diganti istilah dengan Pendamping Akademik (PA) yang dikoordinatori oleh Bimbingan Konseling (BK).

Konsepnya guru sebagai pendidik wajib bekerja maksimal 5 hari kerja per minggu setara dengan 371/2 jam kegiatan, dengan rincian 8 jam tatap muka, 8 jam kegiatan terstruktur, 8 jam kegiatan mandiri dan koreksi, 4 jam untuk layanan akademik individual peserta didik, 4 jam kegiatan remedial, 51/2 jam untuk kegiatam MGMP baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Standar Proses.

Diperlukan penyiapan pembelajaran yang sistematis, terencana baik: perlu perangkat pembelajaran, ada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dikembangkan oleh guru mencakup satu kompetensi dasar yang terdiri dari satu atau beberapa indicator ntuk satu pertemuan atau lebih. Guru idealnya dapat menyiapkan bahan ajar yang diramu dari berbagai sumber. Bahan ajar tidak sama dengan buku pelajaran. Pelaksanaan pembelajaran menerapkan pendekatan tatap muka, penugasan terstruktur dan tugas mandiri. Menerapkan pengelolaan pembelajaran dengan system pindah kelas (moving class). Moving Class dalam proses belajar mengajar sangat dimungkinkan, artinya siswa yang ‘mencari’ guru bukan guru yang ‘mencari’ kelas seperti umumnya sekarang. Peran guru lebih sebagai fasilitator dan motivator. Konsekuensinya sarana dan prasarana harus standar artinya memadai seperti laboratorium multi media, perpustakaan yang memberikan layanan berbagai macam jenis bahan pustaka, yang sekarang didominasi oleh bahan cetakan saja. Memang perlu adanya perencanaan yang matang jika tidak maka jam belajar siswa terkurangi karena siswa harus berpindah ruang, butuh waktu untuk berjalan. Segi positifnya Guru dapat lebih leluasa dalam pengelolaan kelasnya termasuk penataan ruang.

Ada program remedi sepanjang semester, Guru menyediakan waktu untuk konsultasi setiap mata pelajaran. Proses pembelajaran diselenggarakan secara interaktif, kreatif, inspiratif, menumbuhkan kemandirian, aspek keteladanan pendidik sangat diperlukan.

Standar Pendidik dan tenaga kependidikan.

Kualifikasi akademik tenaga pendidik minimal berijazah diploma IV atau Sarjana (S1) dan 75 % tenaga pendidik berlatarbelakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan, lebih dari 75 tenaga pendidik bersertifikat profesi Guru untuk SMA. Tersedia Guru Bimbingan Konseling.

Tenaga kependidikan sekurang-kurangnya terdiri atas Kepala Sekolah, Tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium dan tenaga kebersihan. Kepala sekolah dibantu minimal tiga Wakil Kepala Sekolah, bidang akademik, sarana prasarana dan kesiswaan.

Standar sarana dan prasarana.

Sarana dan prasarana SMA juga distandarisasikan (lampiran Peratuan Menteri Pendidikan nasional nomor 24 tahun 2007 tanggal 28 Juni 2007, antara lain satu SMA memiliki minimal 3 rombongan belajar (kelas) maksimal 27 rombongan belajar. SMA yang memiliki 3 rombongan belajar melayani maksimal 6000 jiwa. Sedangkan ratio luas lahan 36,5 m2/peserta didik, luas ruang kelas 2 m2 untuk 1 orang dan jumlah peserta didik 1 rombongan belajar 32 orang. Disamping sarana kelas, sarana-sarana standar lain yang harus ada adalah laboratorium Fiska, Bahasa, Kimia, Biologi, Komputer, WC, ruang perpustakaan, ruang OSIS, ruang tata usaha, ruang BK, lapangan olah raga.

Standar pengolahan.

Standar pengolahan meliputi perencanaan program, pedoman pengelolaan sekolah, struktur organisasi sekolah, kesiswaan, pelaksanaan kegiatan, pengawasan evaluasi,dan sistem informasi manajemen. Dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) otonomi sekolah semakin besar, tidak perlu menunggu perintah dari atas. Prinsip-prinsip dalam program perencanaan, sekolah memiliki visi, misi tujuan, dan rencana kerja. Beberapa pedoman pengelolaan antara lain KTSP, kalender pendidikan, pembagian tugas guru, peraturan akademis, tata tertib sekolah, kode etik sekolah, pedoman pembelajaran. Ada uraian tugas, wewenang dan tanggung jawab yang jelas tentang keseluruhan penyelenggaraan sekolah dan administrasi.

Ini sekedar gambaran status sekolah yang mandiri dan menuju standar nasional. Masih ada kriteria standar lainnya tidak penulis paparkan dalam tulisan ini, antara lain adalah masalah pendanaan.

Implikasi

Gambaran Sekolah Standar Nasional (SSN) tersebut sebagai salah satu solusi agar Indonesia dapat keluar dari kemelut pendidikan yang tidak kunjung berhenti walaupun masih remang-remang. Bagi sekolah-sekolah swasta terasa berat untuk menerapkan standarisasi seperti yang digariskan pemerintah. Bukan tidak mungkin tetapi butuh perencanaan yang matang, analisis yang sangat hati-hati terutama keterbatasan dana. Memang sungguh berat untuk membangun pendidikan yang berkualitas, tetapi bukannya tidak mugkin. Perubahan, itulah yang harus ada di pikiran orang yang ingin maju (progress) namun perubahan yang drastis dan cepat, tergesa-gesa tidak jarang membawa kehancuran, maka harus bijak dalam mensikapi perubahan. Secara teoritis suatu perubahan diawali dengan analisis isu–isu strategis baik isu internal lembaga maupun eksternal, baru kemudian menetapkan visi dan misi, kemudian merancang strategi baru. Standarisasi akan meningkatkan kualitas jika direncanakan secara matang, diorganisir secara baik, terkoordinir, diimplementasikan secara benar dan termonitor ada tim monitoring dan evaluasi (movi). Namun mengubah paradigma bukan pekerjaan mudah, karena sesungguhnya manusia mudah terjebak dalam rutinitas yang seolah-olah telah terprogram.

Dalam suatu perubahan biasanya terdapat tiga kelompok, yaitu kelompok yang ingin beubah, kelompok yang ingin bertahan, dan kelompok yang acuh tak acuh dengan perubahan. Jika demikian keadaannya maka disarankan agar pemipin tak perlu memaksakan kehendak tetapi mulailah dari beberapa orang yang masih peduli untuk melakukan perubahan.Dari kelompok inilah diharapkan akan berkembang seperti model ”multi level”. Segala upaya akan berhasil jika semua komponen terintegrasi.

Belum terbayangkan standarisasi untuk sekolah-sekolah swasta. Sulit rasanya untuk dipaparkan, karena perlu analisis yang komprehensip dan mendalam. Berat kiranya dengan 8 standar minimal yang disyaratkan. Sebagai seorang guru, penulis menaruh harapan besar (sangat optimis) sekolah swasta pun bisa mengikuti Sekolah Standar Nasional, butuh terobosan baru dan butuh waktu. Ke depan semakin maju kehidupan, masyarakat sadar akan pentingnya kualitas dan sekolah yang berkualitas dalam pelayanan, administrasi dan manajemennya akan dicari orang, karena sekarang pun telah mulai bermunculan sekolah plus yang nota bene mahal tetapi dicari orang.

Penulis Guru SMA Xaverius Bandarlampung