Rabu, 25 Agustus 2010

UJIAN NASIONAL

Ambrusius

“SALAH KAPRAH” DALAM MENGHADAPI

UJIAN NASIONAL

Orang Jawa mengatakan “ salah kaprah”

artinya walaupun mengetahui bahwa perbuatan itu salah,

tetap dilakukan karena masyarakat pada umumnya berbuat deikian.

Orientasi belajar terfokus untuk Untermasuk salah kaprayang terjadidi sekolahh..

P

olemik tentang Ujian Nasional (selanjutnya disebut UN) belum berakhir. Masyarakat pun menanggapinya beragam, pro dan kontra. Beberapa orang guru dalam kesempatan informal berbincang dengan rekan guru lainnya dengan pertanyaan : Sudah melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan mengapa harus ujian nasional ? Apakah ujian nasional tidak bertentangan dengan sistem belajar ”tuntas” ? Apapun alasannya Ujian Nasional tetap dilaksanakan bahkan persiapan-persiapan untuk menghadapi UN sudah dilakukan. Himbauan dari Dinas Pendidikan terkait agar UN tahun 2007/2008 ini sukses juga sudah disampaikan melalui berbagai sesempatan dalam pertemuan dengan Kepala Sekolah maupun Guru sebagai praktisi pendidikan.

Jika masyarakat mempunyai persepsi bahwa kualitas pendidikan dan prestasi sekolah serta keberhasilan pejabat struktural di lingkungan pendidikan diukur dari persentase kelulusan siswa, maka UN menimbulkan kekawatiran, taruhannya”kursi”. Ukuran kualitas produk pendidikan SMA sebenarnya tidak hanya dari nilai yang dicapai peserta didik, jumlah lulusan, tetapi indikatornya adalah berapa persen lulusan yang terserap di Perguruan Tinggi terkenal, kemampuan dan daya saing dala dan luar negeri terhadap pasar tenaga kerja. Lulusan yang bermutu secara teoritis terkait dengan mutu lembaga penyelenggara pendidikan yakni meliputi pelayanan yang bermutu, manajemen sekolah yang bermutu, sumber daya manusia yang credible, administrasi sekolah yang teratur dan tertib, dukungan sarana prasarana yang cukup yang memadai.

Tulisan ini akan membahas secara teoritis relevansinya Ujian Nasional dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, dan secara praktis mengkritisi pengaruh Ujian Nasional terhadap proses pembelajaran di sekolah termasuk dampak psikologisnya terhadap warga sekolah serta kesalahan-kesalahan persepsi bahwasannya ”belajar hanya untuk menghadapi ujian”. Juga memberikan opini mengapa harus ada ujian nasional, atau dulu disebut dengan Ujian Negara dan dalam kurikulum tahun 1994 disebut dengan EBTANAS kepanjangannya evaluasi belajar tahap akhir nasional.UN yaitu ujian umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Disamping juga ada EBTA yang sekarang disebut Ujian Sekolah.

Penilaian hasil belajar.

Sekolah sebagai sistem (School System) adalah merupakan susunan dari bagian-bagian yang terintegrasi dalam hubungan fungsional satu bagian dengan bagian lainnya. Bagian-bagian tersebut tidak bekerja secara parsial tetapi terintegrasi dan terkoordinasi dibawah Kepala Sekolah sebagai manajer sekaligus pemimpin(leadership). Unsur-unsur yang terkait dengan sistem pendidikan persekolahan tersebut adalah peserta didik sebagai subyek yang belajar, Guru sebagai subyek yang mendidik dan mengajar. Unsur kedua adalah kurikulum, selanjutnya ada tujuan, ada sarana prasarana, ada proses dan ada evaluasi. Semua unsur harus bersinergi untuk mencapai satu tujuan, dan jika terjadi gangguan pada satu bagian, maka seluruh sistem akan terganggu. Dengan demikian sistem evaluasi yang dikembangkan termasuk ujian nasional secara teoritis akan berpengaruh terhadap unsur-unsur yang terkait termasuk proses belajar dan proses pembelajaran di sekolah.

Belajar adalah proses, dan ujian adalah kegiatan untuk mengukur hasil proses belajar pada tingkat agar sebelum peserta didik beralih ke tingkatan yang lebih tinggi.. Memang penilaian terhadap proses belajar telah dilakukan oleh Guru, baik melalui ulangan harian , yang sekarang lebih dikenal dengan uji KD (Kompetensi Dasar), ujian mid semester atau uji blok dan ujian akhir semester. Apapun istilahnya esensinya adalah bahwa penilaian harus dilakukan, bahkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 disebutkan ada tiga jenis penilaian hasil belajar yaitu penilaian oleh pendidik, penilaian oleh sekolah dan penilaian hasil belajar oleh pemerintah. Selanjutnya (pasal 66 PP.No.19 tahun 2005) disebutkan bahwa penilaian hasil belajar bertujuan untuk menilai kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok pelajaran limu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. Peserta didik jalur formal (pendidikan dasar dan menengah) serta jalur nonformal kesetaraan (paket A, paket B, paket C) berhak mengikuti ujian nasional dan berhak mengulanginya sepanjang belum dinyatakan lulus dari satuan pendidikan. Jelas kiranya bahwa ujian nasional memilki payung hukum. Sebenarnya tidak perlu lagi ujian nasional menjadi perdebatan.

Penilaian hasil belajar dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

Dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat (19) kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Seperangkat rencana artinya di dalamnya terdapat rencana – rencana yang berhubungan dengan proses pembelajaran misalnya Rencana Proses Pembelajaran (RPP), rencana pencapaian tujuan dengan indiator-indikator, rencana mengenai metode yang akan digunakan, dan rencana penilaian. Sedangkan pengaturan meliputi pengaturan mengenai isi dn bahan ajar misalnya bahan ajar yang dari pusat melalui Badan Standarisasi Nasional Pendidikan tentang standar isi dan bahan ajar yang direncanakan sendiri sebagai muatan lokal (mulok), pengaturan alokasi waktu tatap muka di kelas untuk tiap-tiap mata pelajaran, pengaturan kelas dan model pembelajaran.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh sekolah disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan potensi daerah. Karena disusun oleh sekolah maka rencana dan pengaturannya sepenuhnya wewenang sekolah dengan rambu-rambu yang ditetapkan oleh pemerintah, misalnya mengenai standar kompetensi dan kompetensi dasar tetapi pengembangan silabus wewenang sekolah dalam hal ini Kepala Sekolah dan Guru bersana dewan pendidikan yang lazim disebut Komite Sekolah. Ciri kurikulum pada tingkat pendidikan SMA pengorganisasian mata pelajaran berkolaborasi antara separated subject curriculum, correlated curriculum dan integrated curriculum, sistem belajarnya mastery learning ( sistem belajar tuntas) dengan metode yang bervariasi. Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan berorientasi pada kompetensi, pembelajaran berpusat pada peserta didik (siswa) bukan pada Guru. Tujuan Kurikulum untuk memperoleh output pendidikan berupa Cognitive Domain, Affective Domain, dan Psycomotoric Domain (cipa, rasa dan karsa) ini sejalan dengan konsep tujuan pendidikan menurut Benyamin S Blom dan dijadikan referensi penyusunan tujuan.

Prinsipnya belajar adalah menggali dan mengaktualisasikan potensi sesuai dengan kompetensi yang telah direncanakan sebelumnya. Asumsinya semua siswa dapat mencapai kompetensi tetapi waktu yang diperlukan berbeda-beda ada yang cepat ada yang lambat. Tugas guru adalah merencanakan, membimbing dan memotivasi serta sebagai fasilitator. Cirinya siswa aktif belajar bukan guru aktif mengajar dan siswa mendengarkan. Siswa bukan kertas putih bersih yang harus dicoret-coret (teori tabularasa dari John Loche) tetapi ”tambang emas” yang harus digali ( Suud Karim, dalam seminar pendidikan di SMA Xaverius Bandar lampung tahun 2006).

Peran Guru sebagai evaluator, artinya Guru diharapkan dapat melakukan penilaian terhadap proses dan hasil belajar peserta didiknya. Guru juga diharapkan menguasai prinsip- prinsip penilaian serta dapat melakukan pengukuran dengan alat uji yang disusunnya sendiri. Tentu saja harus berpedoman pada Standar Kriteria Kelulusan yang telah digariskan pada kurikulum. Prinsip penilaian dalam KTSP adalah berkelanjutan, artinya Guru harus dengan teliti mengikuti perkembangan siswa. Untuk mengetahui tingkat kompetensi, guru menyusun indikator-indikator. Jika siswa telah mencapai tingkat penguasaan tertentu sesuai dengan indikator Kompetensi Dasar maka siswa tersebut sudah tuntas belajarnya, ukurannya menggunakan standar kriteria ketuntasan belajar minimal yang disingkat KKM. Penilaian berfungsi sebagai umpan balik kepada siswa maupun guru, siswa yang belum tuntas harus menjalani remedial dan siswa yang sudah tuntas diberi pengayaan. Namun implementasinya tidak sesederhana seperti yag direncanakan. Persepsi guru dan siswa masih beragam, ada yang mempunyai persepsi bahwa remedial itu sama dengan ulangan perbaikan. Ada yang menganggap sebagai pelajaran tambahan di luar jam tatap muka.

Yang dipertanyakan adalah : Jika siswa belajar sudah tuntas, apakah perlu diuji lagi melalui ujian semester ataupun ujian nasional? Pertanyaan yang cukup kritis, terkesan pemerintah tidak percaya kepada guru yang sudah melakukan evaluasi. Sebagian guru berpendapat: ”Yang mengajar guru maka yang menguji juga guru”. Masuk akal memang, jika prosesnya sudah dijalankan dengan benar, semua sarana dan prasarana telah digunakan secara maksimal, alat ukur yang digunakan sahih dan handal maka jawabnya tidak perlu lagi diuji oleh orang lain. Jika terpaksa harus diuji oleh orang lain termasuk oleh pemerintah sebenarnya tidak bermasalah, karena ternyata standar kelulusan yang ditetapkan pemerintah lebih rendah dari KKM sekolah. Dari 40 SMA di Bandar Lampung menetapkan KKM paling rendah 6,00, ironis jika kriteria kelulusan UN terendah 4,25 dengan rata-rata 5,25 sekolah harus berjuang ekstra. Apa yang sebenarnya tidak beres ?, perlu intospeksi diri.

Pengaruh Ujian Nasional.

Apapun komentarnya Ujian Nasional akan dilaksanakan. Untuk tingkat SMA dijadwalkan pada mingu ketiga bulan April 2008-03-17. Maka terkesan ada perlakuan berlebihan untuk menghadapi Ujian Nasional ini. Apa lagi jika dikaitkan antara hasil UN dengan kinerja seperti penulis sebut pada awal tulisan ini, persiapan UN sangat ekstra. Misalnya Musyawarah Kepala Kepala Sekolah (MKKS) membuat kebijakan untuk mengadakan latihan ujian, tidak cukup satu kali tetapi dua kali yang alat ukurnya dibuat oleh guru melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran sejenis (MGMP). Alokasi waktu belajar untuk mata pelajaran yang di”UN”kan juga ditambah, bahkan di beberapa sekolah ada bimbingan belajar (bimbel) khusus untuk menghadapi UN agar berhasil. Intensitas belajar siswa bertambah, seolah mereka baru ” SADAR ” bahwa tugas pelajar itu harus belajar. Pada umumnya bimbingan belajar adalah melatih strategi untuk meyelesaikan soal. Padahal belajar yang sesungguhnya brsifat konstruktif atau membangun pengetahuan yang permanen. Seperti orang membangun gedung sedikit demi sedikit bertahap, sehingga ada pengendapan material yang kokoh, demikian juga orang belajar. Cara belajar instan (cepat saji) sebenarnya kurang efektif untuk ingatan jangka panjang, artinya pengetahuan yang diperoleh akan menumpuk dalam ingatan ambang sadar dan akan segera lenyap turun ke bawah sadar sehingga orang ” lupa”.

Dari persiapan Ujian Nasional ini, berpengaruh terhadap cara-cara belajar siswa, yang lebih berorientasi pada Ujian Nasional, maka metode ”drill” menjadi pilihan utama. Artinya siswa jauh-jauh hari didrill dengan soal-soal, entah itu soal buatan guru, soal-soal UN tahun lalu maupun soal-soal dari luar daerah. Prinsip-prinsip belajar yang disyaratkan dalam KTSP sering diabaikan oleh guru dan murid. Padahal jika proses pembelajaran di kelas sudah standar sebenarnya Ujian Nasional tak usah dikhawatirkan apalagi ditakutkan oleh warga sekolah.

Try Out soal perlu, namun tidak dijamin bahwa hasilnya dapat dipakai untuk prediksi ujian nasional. Mengapa ? Alat uji ( soal-soal) harus disusun berdasarkan standar kelulusan UN, harus melalui uji validitas dan reliabilita sehingga hasil prediksinya tidak bias. Yang harus tertanam kepada siswa adalah bahwa datang ke sekolah itu untuk belajar, maka harus menggunakan waktu belajar secara optimal.

Pengaruh negatif lain dengan adanya UN yang tahun ini meliputi enam mata pelajaran baik program IPA maupun program IPS cenderung melemahnya semangat belajar untuk mata pelajaran yang tidak di”UN”kan, dan ini tidak boleh lulus UN saja bukan berarti sudah lulus dari satuan pendidikan. Ada empat kriteria untuk dinyatakan lulus dari satuan pendidikan yaitu : pertama telah menyelesaikan seluruh mata pelajaran yang diwajibkan (beban kurikulum), kedua penilaian akhir kelompok mata pelajaran agama, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan olah raga dan seni minimal baik. Ketiga lulus ujian sekolah dan ke empat lulus ujian nasional.

Kesimpulan dan implikasi.

Walaupun masyarakat ada yang pro dan kontra tentang adanya Ujian nasional, pemerintah tetap melaksanakan Ujian Nasional tahun pelajaran 2007 / 2008. Tidak terkecuali, apakah sekolah telah melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau belum. Ujian Nasional relevan untuk kurikulum apa saja. Lulus UN tidak berarti lulus dari satuan pendidikan, masih ada syarat yang lain. Guru dan sekolah tidak perlu merasa kehilangan peran sebagai evaluator, guru tetap berhak menguji dan sekolah masih berhak membuat keputusan kelulusan.

Sering sekolah(kepala sekolah, guru dan siswa), orangtua murid khawatir menghadapi UN, sehinga melakukan segala cara berupaya agar sukses UN, ini wajar namun tak perlu berlebihan.

Implikasinya perlu revisi dalam proses pembelajaran dengan teori-teori dan prinsip – prinsip belajar yang mutakhir, dengan perencanaan yang matang, murid kreatif, Guru merasa nyaman dan ketenangan hidup terjamin.

Penulis Guru SMA Xaverius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar