Senin, 30 Agustus 2010

ssn

SEKOLAH STANDAR NASIONAL (SSN)

HARAPAN BARU PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS

Oleh : Sarjana Ambrosius

Berbicara mengenai kualitas pendidikan,

harus berorientasi pada suatu ukuran standar

yang ditetapkan secara rasional dan berlaku umum.

Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia di bawah cengkeraman kolonial menyebabkan keterbelakangan. Bangsa ini tertinggal jauh dari bangsa-bangsa lain dalam segala bidang kehidupan termasuk pendidikan. Konstitusi sebenarnya telah menggariskan pentingnya pendidikan baik yang tercantum dalam pembukaan maupun dalam batang tubuh UUD 1945. Untuk memenuhi amanat yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4 ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ dan bab VIII pasal 31 ayat 3 Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.Undang Undang Dasar juga menegaskan bahwa, Negara harus mengalokasikan 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk anggaran pendidikan nasional.(Amandemen UUD 1945 Agustus 2002 : 42).

Sejarah mencatat bahwa dari awal merdeka hingga berakhirnya masa Orde Lama (1965) permasalahan pendidikan di Indonesia terbesar menyangkut kuantitas, kualitas dan relevansi. Masalah kuantitas yakni bagaimana memeratakan pendidikan , untuk itu Pemerintah mengupayakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar sembilan tahun. Dengan demikian maka semboyan “pendidikan untuk semua” dapat terwujud. Masalah kualitas meliputi mutu pelayanan, mutu outcome yang dapat diukur berdasarkan standar kelayakan, serta muatan kurikulum pendidikan yang ada relevansinya dengan tuntutan masyarakat sehingga produk pendidikan tersebut memiliki daya saing internasional. Semuanya itu tidak terlepas dari manajemen pengelolaan yang minimal meliputi Planning, Organizing, Actuiting dan Controlling, terutama jika bicara budaya mutu menurut Depdiknas (dalam Juhri.2007:35)memiliki beberapa elemen yaitu : informasi kualitas harus dipakai untuk perbaikan bukan untuk mengadili orang, kewenangan harus sebatas tanggung jawab, hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishments), kolaborasi dan sinegi bukan kompetisi merupakan basis untuk kerja sama, warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya, atmosfer keadilan harus ditanamkan imbalan jasa harus sepadan dengan pekerjaan serta warga sekolah harus merasa memiliki sekolah.

Departemen Pendidikan Nasional melalu Menteri Pendidikan bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan di Indonesia, oleh sebab itu perubahan kearah perbaikan telah dilakukan, misalnya dengan perubahan kurikulum. Kurikulum didefinisikan sebagai program pendidikan yang berisi bahan ajar dan pengalaman belajar yang direncanakan, dirancang secara sistematis atas dasar norma yang berlaku dan dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran. Kurikulum berubah-ubah karena disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi. Kurikulum sekolah output-nya harus dapat link and match dengan kebutuhan masyarakat dan dunia usaha. Sudah beberapa kali kurikulum pendidikan berubah, seperti dikenal dengan nama Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, kurikulum 2004 yang dikenal dengan istilah KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan disempurnakan lagi dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP). Secara teoritis dengan KTSP yang berbasis kompetensi, satu sisi kemampuan siswa akan berkembang optimal, Guru lebih percaya diri karena mengembangkan kurikulum sendiri dan tidak dikejar oleh materi. Mereka dapat merencanakan sendiri materi ajar sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai. Pemerintah hanya memberikan rambu-rambu saja. Sistem belajar yang dikembangkan adalah sistem belajar tuntas atau Mastery Learning. Organisasi pun dimulai dari yang paling dekat dengan anak makin lama makin luas. Teori ini sebenarnya pernah dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara dikenal dengan “Tri Con”, yaitu Consentris, Continue, dan Convergensi. Consentris artin berpusat pada pengalaman anak di mana ia hidup dengan lingkungan dan kebudayaannya, Continue arting pengalaman anak berkembang terus menerus dan guru sebagai fasilitator, Convergensi artinya perpaduan dari berbagai arah, siswa membangun sendiri pengetahuannya dari berbagai sumber, untuk mengembangkan potensi diri. Sisi lain Guru kerepotan.

Ide atau gagasan sebagai unsur perubahan telah dicetuskan, namun pertanyaannya : Apakah dapat diimplementasikan ? Apakah hanya sebagai utopi ? (ide yang muluk, namun tidak akan pernah menjadi kenyataan bagaikan mimpi) Ataukah perubahan-perubahan ini justru merupakan gerak langkah inovasi ? Yang terjadi di masyarakat, setiap kali ada perubahan orang berpikir negative, pesimis dan cenderung konservatif. Terlepas dari apa “tanggapan masyarakat” dalam mengomentari pendidikan di Indonesia, baik yang hanya sekedar kecewa sampai yang mengecam bahwa out put pendidikan di negeri ini belum sesuai harapan. Secara umum tertinggal dengan negara-negara berkembang lain terutama dalam hal mutu. Ini terbukti dengan banyaknya tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri umumnya memasuki sektor informal, dan beberapa tenaga kerja wanita bermasalah karena pengetahuannya tentang budaya dan hukum rendah. Masalah mutu, relevansi dan pemerataan pendidikan memang menjadi prioritas mulai sejak dicanangkannya Rencana Pebangunan Lima Tahun (Repelita) pertama sampai sekarang belum teratasi walaupun perubahan demi perubahan sudah dicoba dilakukan misalnya dengan perubahan kurikulum dan pengorganisasiannya serta system pembelajaran. Adopsi cara-cara belajar dari Negara-negara maju juga sudah dilakukan. Guru sebagai ujung tombak di lapangan merasa bingung dengan kurikulum yang berubah-ubah. Tak heran lagi jika Ujian Nasional pun ditanggapi dengan beragam, sebagian masyarakat pro sebagian yang lain lagi kontra. Pertanyaan “ Apa” yang harus dilakukan ? “berubah” kata Renal Kazali, “ Bagaimana ” caranya ? (1)Pelajari situasi , cari “insight” sedalam mungkin (2) Fokus, buatlah pilihan-pilihan strategis (3) Satukan strategi ke dalam sistem organisasi (4) Eksekusi, yaitu lakukan perubahan secara bertahap.

Untuk meningkatkan dan menjamin mutu pendidikan perlu standarisasi pendidikan. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 11 ay.2 dikatakan bahwa beban belajar untuk SMA/MA/SMLB, SMK/ SAK atau bentuk lain yang sederajad pada jalur pendidikan formal kategori standar dapat dinyatakan dalam satuan kredit semester (SKS) dan bagian keempat berisikan tentang kurikulum pendidikan yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang disusn sendiri oleh sekolah ( pasal 16 ). Pada pasal 94. huruf b tertulis “ Satuan Pendidikan wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lambat 7 (tujuh ) tahun “. Dari beberapa kutipan ayat PP.No.19 Tahun 2005 tersebut lembaga penyelenggara pendidikan harus berpikir, cepat atau lambat akan melakukan perubahan menjadikan “SEKOLAH STANDAR NASIONAL”.yang segala sesuatunya standar menurut Pemerintah. Seperti sekarang sekolah telah menerapkan KTSP dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar isi, standar proses, standar sarana prasarana, standar tenaga pendidik dan kependidikan, standar kelulusan, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian. Dari delapan standar tersebut kelak harus dilaksanakan secara simultan, namun saat ini masih bertahap dan implementasinya masih jauh dari harapan. Kedepan sekolah yang menyandang kategori mandiri (SKM) harus terwujud, bahkan Pemerintah telah mencanangkan tahun 2012 semua sekolah harus sudah standar seperti telah penulis paparkan di atas yakni berdasarkan PP.No.19 tahun 2005. Beberapa pertanyaan untuk mengkritisi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, yakni :

Seperti apa gambaran Sekolah Standar Nasional ? Apakah ini sebagai solusi meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia ? lalu Apa yang perlu dipersiapkan jika harus mencapai standar ? Bagaimana dengan sekolah swasta yang mandiri ?

Gambaran Sekolah Sandar Nasional.

Kita perlu berbangga seperti apa yang telah dilakukan pemerintah maupun masyarakat pada era tahun tujuh puluh-an. Secara kuantitas sekolah berkembang pesat terutama dengan adanya program Inpres untuk sekolah-sekolah negeri disamping menjamurnya sekolah yang dikelola oleh swasta. Pada saat itu belum ada standar mutu yang baku karena diprioritaskan untuk mengatasi buta aksara dan buta bahasa Indonesia serta buta pengetahuan. Beriringan dengan usaha mengentaskan tiga ‘buta’ tersebut secara bertahap meningkatkan kualitas dengan keluarnya PP.Rebublik Indonesia nomor 19 tahun 2005 yang berfungsi sebagai dasar perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, serta bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat (pasal 3 dan pasal 4).

Sebagai gambaran saat ini ada beberapa konsep tentang status sekolah yakni Sekolah Standar, Sekolah Kategori Mandiri atau Sekolah Standar Nasional dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Melalui lembaga resmi yang disebut Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) ditetapkan acuan standar pendidikan tersebut . Ada delapan standar pendidikan untuk Sekolah Kategori Mandiri yaitu : standar isi dan standar kompetensi, Standar proses, Standar pendidik dan tenaga kependidikan, Standar sarana dan prasarana, Standar pengelolaan, Standar pembiayaan, Standar penilaian pendidikan, Kesiapan sekolah dan dukungan eksternal.(Dit.Pembina SMA,Ditjen. Manajemen Dikdasmen, 2007 ).

Standar Isi

Kurikulum disusun oleh satuan pendidikan yang mengacu pada Standar Isi yang berisi standar kompetensi dan kompetensi dasar. Isi kurikulum pokok secara nasional sama namun pengembangannya diserahkan pada masing-masing satuan pendidikan dengan mempertimbangkan potensi daerah, maka disemuang jenjang ditambah program muatan lokal. Sistem belajar siswa berorientasi pada pengembangan potensi siswa secara individu dengan mastery learning atau belajar tuntas. Guru tidak lagi terpaku pada materi ajar yang ada pada buku pelajaran. Prinsip belajar yang hakiki adalah membangun pengetahuan dengan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, maka sebenarnya tidak permu memasalahkan buku yang tidak cocok dengan KTSP seperti diberitan TVRI pada Berita Nasional tanggal 19 februari 2008 yang menyebtkan bahwa guru-guru di Kalimantan mengeluh karena buku paket tidak cocok lagi dengan kurikulumnya. Dengan kurikulum ini cara belajar dan sumber belajar sangat bervariasi, seperti yang dikatakan Winarno, Dr. (Educare No. 9/IV/Desember 2007 : 42) tentang e–Learning, belajar jarak jauh sangat dimungkinkan untuk sekolah masa depan. Siswa selain belajar melalui tatap muka juga belajar mandiri.

. Yang baru dalam Sekolah Standar Nasional ini adalah bahwa beban belajar tidak lagi dengan system paket tetapi dengan sistem kredit, artinya Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dikemas dalam Satuan Kredit Semester(sks), yaitu 120 sks. Jumlah 120 sks diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :

- Kebulatan studi yang ditempuh di SMA selama enam semester, sehingga beban studi per semester 20 sks, arting 20 jam tatap muka, 20 jam terstruktu dan 20 jam tugas mandiri.

- Kegiatan tatap muka dan terstruktur dilakukan di sekolah sehingga kegiatan terjadwal 40 jam per minggu.

Dengan system sks ini tidak menerapkan kenaikan kelas, dimungkinkan peserta didik yang cepat dapat menyelesaikan pendidikan di SMA kurang dari 3 tahun sedangkan peserta didik yang lambat dapat menyelesaikan pendidikan di SMA lebih dari 3 tahun. Jumlah sks yang boleh diambil pada semester II dan seterusnya didasarkan pada index prestasi (ip), misalnya pencapaian ip 2,0 hanya boleh mengambil maksimal 16 sks tetapi yang indeks prestasinya (IP) 3,25 dapat mengambil 22 sks.

Pembagian tugas mengajar guru disesuaikan dengan bidang keahlian guru dengan jumlah jam tugas minimal. Beban tugas mengajar guru yakni 24 sks per minggu, artinya guru cukup mengajar tatap muka 8 jam, 8jam tugas terstruktur dan 8 jam tugas mandiri. Guru tetap wajib bekerja 24 jam 16 jam di kelas dan 8 jam untuk evaluasi dan pendampingan atau bimbingan akademik bagi 16 siswa bimbingannya. Peran wali kelas diganti istilah dengan Pendamping Akademik (PA) yang dikoordinatori oleh Bimbingan Konseling (BK).

Konsepnya guru sebagai pendidik wajib bekerja maksimal 5 hari kerja per minggu setara dengan 371/2 jam kegiatan, dengan rincian 8 jam tatap muka, 8 jam kegiatan terstruktur, 8 jam kegiatan mandiri dan koreksi, 4 jam untuk layanan akademik individual peserta didik, 4 jam kegiatan remedial, 51/2 jam untuk kegiatam MGMP baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Standar Proses.

Diperlukan penyiapan pembelajaran yang sistematis, terencana baik: perlu perangkat pembelajaran, ada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dikembangkan oleh guru mencakup satu kompetensi dasar yang terdiri dari satu atau beberapa indicator ntuk satu pertemuan atau lebih. Guru idealnya dapat menyiapkan bahan ajar yang diramu dari berbagai sumber. Bahan ajar tidak sama dengan buku pelajaran. Pelaksanaan pembelajaran menerapkan pendekatan tatap muka, penugasan terstruktur dan tugas mandiri. Menerapkan pengelolaan pembelajaran dengan system pindah kelas (moving class). Moving Class dalam proses belajar mengajar sangat dimungkinkan, artinya siswa yang ‘mencari’ guru bukan guru yang ‘mencari’ kelas seperti umumnya sekarang. Peran guru lebih sebagai fasilitator dan motivator. Konsekuensinya sarana dan prasarana harus standar artinya memadai seperti laboratorium multi media, perpustakaan yang memberikan layanan berbagai macam jenis bahan pustaka, yang sekarang didominasi oleh bahan cetakan saja. Memang perlu adanya perencanaan yang matang jika tidak maka jam belajar siswa terkurangi karena siswa harus berpindah ruang, butuh waktu untuk berjalan. Segi positifnya Guru dapat lebih leluasa dalam pengelolaan kelasnya termasuk penataan ruang.

Ada program remedi sepanjang semester, Guru menyediakan waktu untuk konsultasi setiap mata pelajaran. Proses pembelajaran diselenggarakan secara interaktif, kreatif, inspiratif, menumbuhkan kemandirian, aspek keteladanan pendidik sangat diperlukan.

Standar Pendidik dan tenaga kependidikan.

Kualifikasi akademik tenaga pendidik minimal berijazah diploma IV atau Sarjana (S1) dan 75 % tenaga pendidik berlatarbelakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan, lebih dari 75 tenaga pendidik bersertifikat profesi Guru untuk SMA. Tersedia Guru Bimbingan Konseling.

Tenaga kependidikan sekurang-kurangnya terdiri atas Kepala Sekolah, Tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium dan tenaga kebersihan. Kepala sekolah dibantu minimal tiga Wakil Kepala Sekolah, bidang akademik, sarana prasarana dan kesiswaan.

Standar sarana dan prasarana.

Sarana dan prasarana SMA juga distandarisasikan (lampiran Peratuan Menteri Pendidikan nasional nomor 24 tahun 2007 tanggal 28 Juni 2007, antara lain satu SMA memiliki minimal 3 rombongan belajar (kelas) maksimal 27 rombongan belajar. SMA yang memiliki 3 rombongan belajar melayani maksimal 6000 jiwa. Sedangkan ratio luas lahan 36,5 m2/peserta didik, luas ruang kelas 2 m2 untuk 1 orang dan jumlah peserta didik 1 rombongan belajar 32 orang. Disamping sarana kelas, sarana-sarana standar lain yang harus ada adalah laboratorium Fiska, Bahasa, Kimia, Biologi, Komputer, WC, ruang perpustakaan, ruang OSIS, ruang tata usaha, ruang BK, lapangan olah raga.

Standar pengolahan.

Standar pengolahan meliputi perencanaan program, pedoman pengelolaan sekolah, struktur organisasi sekolah, kesiswaan, pelaksanaan kegiatan, pengawasan evaluasi,dan sistem informasi manajemen. Dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) otonomi sekolah semakin besar, tidak perlu menunggu perintah dari atas. Prinsip-prinsip dalam program perencanaan, sekolah memiliki visi, misi tujuan, dan rencana kerja. Beberapa pedoman pengelolaan antara lain KTSP, kalender pendidikan, pembagian tugas guru, peraturan akademis, tata tertib sekolah, kode etik sekolah, pedoman pembelajaran. Ada uraian tugas, wewenang dan tanggung jawab yang jelas tentang keseluruhan penyelenggaraan sekolah dan administrasi.

Ini sekedar gambaran status sekolah yang mandiri dan menuju standar nasional. Masih ada kriteria standar lainnya tidak penulis paparkan dalam tulisan ini, antara lain adalah masalah pendanaan.

Implikasi

Gambaran Sekolah Standar Nasional (SSN) tersebut sebagai salah satu solusi agar Indonesia dapat keluar dari kemelut pendidikan yang tidak kunjung berhenti walaupun masih remang-remang. Bagi sekolah-sekolah swasta terasa berat untuk menerapkan standarisasi seperti yang digariskan pemerintah. Bukan tidak mungkin tetapi butuh perencanaan yang matang, analisis yang sangat hati-hati terutama keterbatasan dana. Memang sungguh berat untuk membangun pendidikan yang berkualitas, tetapi bukannya tidak mugkin. Perubahan, itulah yang harus ada di pikiran orang yang ingin maju (progress) namun perubahan yang drastis dan cepat, tergesa-gesa tidak jarang membawa kehancuran, maka harus bijak dalam mensikapi perubahan. Secara teoritis suatu perubahan diawali dengan analisis isu–isu strategis baik isu internal lembaga maupun eksternal, baru kemudian menetapkan visi dan misi, kemudian merancang strategi baru. Standarisasi akan meningkatkan kualitas jika direncanakan secara matang, diorganisir secara baik, terkoordinir, diimplementasikan secara benar dan termonitor ada tim monitoring dan evaluasi (movi). Namun mengubah paradigma bukan pekerjaan mudah, karena sesungguhnya manusia mudah terjebak dalam rutinitas yang seolah-olah telah terprogram.

Dalam suatu perubahan biasanya terdapat tiga kelompok, yaitu kelompok yang ingin beubah, kelompok yang ingin bertahan, dan kelompok yang acuh tak acuh dengan perubahan. Jika demikian keadaannya maka disarankan agar pemipin tak perlu memaksakan kehendak tetapi mulailah dari beberapa orang yang masih peduli untuk melakukan perubahan.Dari kelompok inilah diharapkan akan berkembang seperti model ”multi level”. Segala upaya akan berhasil jika semua komponen terintegrasi.

Belum terbayangkan standarisasi untuk sekolah-sekolah swasta. Sulit rasanya untuk dipaparkan, karena perlu analisis yang komprehensip dan mendalam. Berat kiranya dengan 8 standar minimal yang disyaratkan. Sebagai seorang guru, penulis menaruh harapan besar (sangat optimis) sekolah swasta pun bisa mengikuti Sekolah Standar Nasional, butuh terobosan baru dan butuh waktu. Ke depan semakin maju kehidupan, masyarakat sadar akan pentingnya kualitas dan sekolah yang berkualitas dalam pelayanan, administrasi dan manajemennya akan dicari orang, karena sekarang pun telah mulai bermunculan sekolah plus yang nota bene mahal tetapi dicari orang.

Penulis Guru SMA Xaverius Bandarlampung

Rabu, 25 Agustus 2010

UJIAN NASIONAL

Ambrusius

“SALAH KAPRAH” DALAM MENGHADAPI

UJIAN NASIONAL

Orang Jawa mengatakan “ salah kaprah”

artinya walaupun mengetahui bahwa perbuatan itu salah,

tetap dilakukan karena masyarakat pada umumnya berbuat deikian.

Orientasi belajar terfokus untuk Untermasuk salah kaprayang terjadidi sekolahh..

P

olemik tentang Ujian Nasional (selanjutnya disebut UN) belum berakhir. Masyarakat pun menanggapinya beragam, pro dan kontra. Beberapa orang guru dalam kesempatan informal berbincang dengan rekan guru lainnya dengan pertanyaan : Sudah melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan mengapa harus ujian nasional ? Apakah ujian nasional tidak bertentangan dengan sistem belajar ”tuntas” ? Apapun alasannya Ujian Nasional tetap dilaksanakan bahkan persiapan-persiapan untuk menghadapi UN sudah dilakukan. Himbauan dari Dinas Pendidikan terkait agar UN tahun 2007/2008 ini sukses juga sudah disampaikan melalui berbagai sesempatan dalam pertemuan dengan Kepala Sekolah maupun Guru sebagai praktisi pendidikan.

Jika masyarakat mempunyai persepsi bahwa kualitas pendidikan dan prestasi sekolah serta keberhasilan pejabat struktural di lingkungan pendidikan diukur dari persentase kelulusan siswa, maka UN menimbulkan kekawatiran, taruhannya”kursi”. Ukuran kualitas produk pendidikan SMA sebenarnya tidak hanya dari nilai yang dicapai peserta didik, jumlah lulusan, tetapi indikatornya adalah berapa persen lulusan yang terserap di Perguruan Tinggi terkenal, kemampuan dan daya saing dala dan luar negeri terhadap pasar tenaga kerja. Lulusan yang bermutu secara teoritis terkait dengan mutu lembaga penyelenggara pendidikan yakni meliputi pelayanan yang bermutu, manajemen sekolah yang bermutu, sumber daya manusia yang credible, administrasi sekolah yang teratur dan tertib, dukungan sarana prasarana yang cukup yang memadai.

Tulisan ini akan membahas secara teoritis relevansinya Ujian Nasional dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, dan secara praktis mengkritisi pengaruh Ujian Nasional terhadap proses pembelajaran di sekolah termasuk dampak psikologisnya terhadap warga sekolah serta kesalahan-kesalahan persepsi bahwasannya ”belajar hanya untuk menghadapi ujian”. Juga memberikan opini mengapa harus ada ujian nasional, atau dulu disebut dengan Ujian Negara dan dalam kurikulum tahun 1994 disebut dengan EBTANAS kepanjangannya evaluasi belajar tahap akhir nasional.UN yaitu ujian umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Disamping juga ada EBTA yang sekarang disebut Ujian Sekolah.

Penilaian hasil belajar.

Sekolah sebagai sistem (School System) adalah merupakan susunan dari bagian-bagian yang terintegrasi dalam hubungan fungsional satu bagian dengan bagian lainnya. Bagian-bagian tersebut tidak bekerja secara parsial tetapi terintegrasi dan terkoordinasi dibawah Kepala Sekolah sebagai manajer sekaligus pemimpin(leadership). Unsur-unsur yang terkait dengan sistem pendidikan persekolahan tersebut adalah peserta didik sebagai subyek yang belajar, Guru sebagai subyek yang mendidik dan mengajar. Unsur kedua adalah kurikulum, selanjutnya ada tujuan, ada sarana prasarana, ada proses dan ada evaluasi. Semua unsur harus bersinergi untuk mencapai satu tujuan, dan jika terjadi gangguan pada satu bagian, maka seluruh sistem akan terganggu. Dengan demikian sistem evaluasi yang dikembangkan termasuk ujian nasional secara teoritis akan berpengaruh terhadap unsur-unsur yang terkait termasuk proses belajar dan proses pembelajaran di sekolah.

Belajar adalah proses, dan ujian adalah kegiatan untuk mengukur hasil proses belajar pada tingkat agar sebelum peserta didik beralih ke tingkatan yang lebih tinggi.. Memang penilaian terhadap proses belajar telah dilakukan oleh Guru, baik melalui ulangan harian , yang sekarang lebih dikenal dengan uji KD (Kompetensi Dasar), ujian mid semester atau uji blok dan ujian akhir semester. Apapun istilahnya esensinya adalah bahwa penilaian harus dilakukan, bahkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 disebutkan ada tiga jenis penilaian hasil belajar yaitu penilaian oleh pendidik, penilaian oleh sekolah dan penilaian hasil belajar oleh pemerintah. Selanjutnya (pasal 66 PP.No.19 tahun 2005) disebutkan bahwa penilaian hasil belajar bertujuan untuk menilai kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok pelajaran limu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. Peserta didik jalur formal (pendidikan dasar dan menengah) serta jalur nonformal kesetaraan (paket A, paket B, paket C) berhak mengikuti ujian nasional dan berhak mengulanginya sepanjang belum dinyatakan lulus dari satuan pendidikan. Jelas kiranya bahwa ujian nasional memilki payung hukum. Sebenarnya tidak perlu lagi ujian nasional menjadi perdebatan.

Penilaian hasil belajar dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

Dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat (19) kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Seperangkat rencana artinya di dalamnya terdapat rencana – rencana yang berhubungan dengan proses pembelajaran misalnya Rencana Proses Pembelajaran (RPP), rencana pencapaian tujuan dengan indiator-indikator, rencana mengenai metode yang akan digunakan, dan rencana penilaian. Sedangkan pengaturan meliputi pengaturan mengenai isi dn bahan ajar misalnya bahan ajar yang dari pusat melalui Badan Standarisasi Nasional Pendidikan tentang standar isi dan bahan ajar yang direncanakan sendiri sebagai muatan lokal (mulok), pengaturan alokasi waktu tatap muka di kelas untuk tiap-tiap mata pelajaran, pengaturan kelas dan model pembelajaran.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh sekolah disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan potensi daerah. Karena disusun oleh sekolah maka rencana dan pengaturannya sepenuhnya wewenang sekolah dengan rambu-rambu yang ditetapkan oleh pemerintah, misalnya mengenai standar kompetensi dan kompetensi dasar tetapi pengembangan silabus wewenang sekolah dalam hal ini Kepala Sekolah dan Guru bersana dewan pendidikan yang lazim disebut Komite Sekolah. Ciri kurikulum pada tingkat pendidikan SMA pengorganisasian mata pelajaran berkolaborasi antara separated subject curriculum, correlated curriculum dan integrated curriculum, sistem belajarnya mastery learning ( sistem belajar tuntas) dengan metode yang bervariasi. Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan berorientasi pada kompetensi, pembelajaran berpusat pada peserta didik (siswa) bukan pada Guru. Tujuan Kurikulum untuk memperoleh output pendidikan berupa Cognitive Domain, Affective Domain, dan Psycomotoric Domain (cipa, rasa dan karsa) ini sejalan dengan konsep tujuan pendidikan menurut Benyamin S Blom dan dijadikan referensi penyusunan tujuan.

Prinsipnya belajar adalah menggali dan mengaktualisasikan potensi sesuai dengan kompetensi yang telah direncanakan sebelumnya. Asumsinya semua siswa dapat mencapai kompetensi tetapi waktu yang diperlukan berbeda-beda ada yang cepat ada yang lambat. Tugas guru adalah merencanakan, membimbing dan memotivasi serta sebagai fasilitator. Cirinya siswa aktif belajar bukan guru aktif mengajar dan siswa mendengarkan. Siswa bukan kertas putih bersih yang harus dicoret-coret (teori tabularasa dari John Loche) tetapi ”tambang emas” yang harus digali ( Suud Karim, dalam seminar pendidikan di SMA Xaverius Bandar lampung tahun 2006).

Peran Guru sebagai evaluator, artinya Guru diharapkan dapat melakukan penilaian terhadap proses dan hasil belajar peserta didiknya. Guru juga diharapkan menguasai prinsip- prinsip penilaian serta dapat melakukan pengukuran dengan alat uji yang disusunnya sendiri. Tentu saja harus berpedoman pada Standar Kriteria Kelulusan yang telah digariskan pada kurikulum. Prinsip penilaian dalam KTSP adalah berkelanjutan, artinya Guru harus dengan teliti mengikuti perkembangan siswa. Untuk mengetahui tingkat kompetensi, guru menyusun indikator-indikator. Jika siswa telah mencapai tingkat penguasaan tertentu sesuai dengan indikator Kompetensi Dasar maka siswa tersebut sudah tuntas belajarnya, ukurannya menggunakan standar kriteria ketuntasan belajar minimal yang disingkat KKM. Penilaian berfungsi sebagai umpan balik kepada siswa maupun guru, siswa yang belum tuntas harus menjalani remedial dan siswa yang sudah tuntas diberi pengayaan. Namun implementasinya tidak sesederhana seperti yag direncanakan. Persepsi guru dan siswa masih beragam, ada yang mempunyai persepsi bahwa remedial itu sama dengan ulangan perbaikan. Ada yang menganggap sebagai pelajaran tambahan di luar jam tatap muka.

Yang dipertanyakan adalah : Jika siswa belajar sudah tuntas, apakah perlu diuji lagi melalui ujian semester ataupun ujian nasional? Pertanyaan yang cukup kritis, terkesan pemerintah tidak percaya kepada guru yang sudah melakukan evaluasi. Sebagian guru berpendapat: ”Yang mengajar guru maka yang menguji juga guru”. Masuk akal memang, jika prosesnya sudah dijalankan dengan benar, semua sarana dan prasarana telah digunakan secara maksimal, alat ukur yang digunakan sahih dan handal maka jawabnya tidak perlu lagi diuji oleh orang lain. Jika terpaksa harus diuji oleh orang lain termasuk oleh pemerintah sebenarnya tidak bermasalah, karena ternyata standar kelulusan yang ditetapkan pemerintah lebih rendah dari KKM sekolah. Dari 40 SMA di Bandar Lampung menetapkan KKM paling rendah 6,00, ironis jika kriteria kelulusan UN terendah 4,25 dengan rata-rata 5,25 sekolah harus berjuang ekstra. Apa yang sebenarnya tidak beres ?, perlu intospeksi diri.

Pengaruh Ujian Nasional.

Apapun komentarnya Ujian Nasional akan dilaksanakan. Untuk tingkat SMA dijadwalkan pada mingu ketiga bulan April 2008-03-17. Maka terkesan ada perlakuan berlebihan untuk menghadapi Ujian Nasional ini. Apa lagi jika dikaitkan antara hasil UN dengan kinerja seperti penulis sebut pada awal tulisan ini, persiapan UN sangat ekstra. Misalnya Musyawarah Kepala Kepala Sekolah (MKKS) membuat kebijakan untuk mengadakan latihan ujian, tidak cukup satu kali tetapi dua kali yang alat ukurnya dibuat oleh guru melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran sejenis (MGMP). Alokasi waktu belajar untuk mata pelajaran yang di”UN”kan juga ditambah, bahkan di beberapa sekolah ada bimbingan belajar (bimbel) khusus untuk menghadapi UN agar berhasil. Intensitas belajar siswa bertambah, seolah mereka baru ” SADAR ” bahwa tugas pelajar itu harus belajar. Pada umumnya bimbingan belajar adalah melatih strategi untuk meyelesaikan soal. Padahal belajar yang sesungguhnya brsifat konstruktif atau membangun pengetahuan yang permanen. Seperti orang membangun gedung sedikit demi sedikit bertahap, sehingga ada pengendapan material yang kokoh, demikian juga orang belajar. Cara belajar instan (cepat saji) sebenarnya kurang efektif untuk ingatan jangka panjang, artinya pengetahuan yang diperoleh akan menumpuk dalam ingatan ambang sadar dan akan segera lenyap turun ke bawah sadar sehingga orang ” lupa”.

Dari persiapan Ujian Nasional ini, berpengaruh terhadap cara-cara belajar siswa, yang lebih berorientasi pada Ujian Nasional, maka metode ”drill” menjadi pilihan utama. Artinya siswa jauh-jauh hari didrill dengan soal-soal, entah itu soal buatan guru, soal-soal UN tahun lalu maupun soal-soal dari luar daerah. Prinsip-prinsip belajar yang disyaratkan dalam KTSP sering diabaikan oleh guru dan murid. Padahal jika proses pembelajaran di kelas sudah standar sebenarnya Ujian Nasional tak usah dikhawatirkan apalagi ditakutkan oleh warga sekolah.

Try Out soal perlu, namun tidak dijamin bahwa hasilnya dapat dipakai untuk prediksi ujian nasional. Mengapa ? Alat uji ( soal-soal) harus disusun berdasarkan standar kelulusan UN, harus melalui uji validitas dan reliabilita sehingga hasil prediksinya tidak bias. Yang harus tertanam kepada siswa adalah bahwa datang ke sekolah itu untuk belajar, maka harus menggunakan waktu belajar secara optimal.

Pengaruh negatif lain dengan adanya UN yang tahun ini meliputi enam mata pelajaran baik program IPA maupun program IPS cenderung melemahnya semangat belajar untuk mata pelajaran yang tidak di”UN”kan, dan ini tidak boleh lulus UN saja bukan berarti sudah lulus dari satuan pendidikan. Ada empat kriteria untuk dinyatakan lulus dari satuan pendidikan yaitu : pertama telah menyelesaikan seluruh mata pelajaran yang diwajibkan (beban kurikulum), kedua penilaian akhir kelompok mata pelajaran agama, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan olah raga dan seni minimal baik. Ketiga lulus ujian sekolah dan ke empat lulus ujian nasional.

Kesimpulan dan implikasi.

Walaupun masyarakat ada yang pro dan kontra tentang adanya Ujian nasional, pemerintah tetap melaksanakan Ujian Nasional tahun pelajaran 2007 / 2008. Tidak terkecuali, apakah sekolah telah melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau belum. Ujian Nasional relevan untuk kurikulum apa saja. Lulus UN tidak berarti lulus dari satuan pendidikan, masih ada syarat yang lain. Guru dan sekolah tidak perlu merasa kehilangan peran sebagai evaluator, guru tetap berhak menguji dan sekolah masih berhak membuat keputusan kelulusan.

Sering sekolah(kepala sekolah, guru dan siswa), orangtua murid khawatir menghadapi UN, sehinga melakukan segala cara berupaya agar sukses UN, ini wajar namun tak perlu berlebihan.

Implikasinya perlu revisi dalam proses pembelajaran dengan teori-teori dan prinsip – prinsip belajar yang mutakhir, dengan perencanaan yang matang, murid kreatif, Guru merasa nyaman dan ketenangan hidup terjamin.

Penulis Guru SMA Xaverius